Jumat, 11 April 2008

PELATIHAN PENGELOLAAN DIRI DALAM BELAJAR PADA SISWA UNDERACHIEVER MELALUI PENDAMPINGAN ORANG TUA

BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah

”Belajar dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktik atau pengalaman tertentu” (Makmun, 2001: 157). Dalam kegiatan belajar tentunya setiap orang menginginkan keberhasilan dalam mencapai tujuan. Keberhasilan dalam proses belajar biasa dikenal dengan istilah prestasi belajar. Menurut Phalestie ”Prestasi merupakan tingkat keberhasilan yang dicapai seseorang yang dapat diukur atau dinilai” (www.rumahbelajarpsikologi.com). Dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah, prestasi siswa diperoleh melalui penilaian guru terhadap hasil tes mata pelajaran yang disebut raport. Prestasi belajar yang diperoleh oleh siswa tidak hanya dijadikan tolak ukur keberhasilan siswa dalam belajarnya, akan tetapi dapat juga dijadikan indikator kualitas proses pembelajaran di sekolah. Menurut Syah (2003: 219) “ada beberapa alternatif norma pengukuran tingkat keberhasilan siswa, yaitu norma skala 0 sampai 10, atau 0 sampai 100”. Angka terendah yang menyatakan kelulusan belajar (passing grade) dalam penilaian teori mastery learning adalah 6 pada skala 0-10 atau 60 pada skala 0-100.
Prestasi belajar yang diperoleh siswa tentunya tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi siswa adalah tingkat intelegensi (IQ). IQ memiliki korelasi sangat signifikan dengan prestasi belajar. Barret dan Depinet (dalam Sunawan, 2003: 16) menjelaskan bahwa ’anak yang lebih tinggi skor inteligensinya mendapatkan nilai akademis yang lebih tinggi, lebih menikmati sekolah, lebih mampu mengikuti pelajaran, dan dalam kehidupan selanjutnya cenderung mendapatkan keberhasilan’. Hal ini juga diperkuat dengan pendapat Hawadi (2004: 168) bahwa ”taraf intelegensi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar”. Oleh karena itu siswa ber-IQ tinggi seharusnya mempunyai prestasi yang tinggi sesuai dengan potensinya. Selain IQ yang tinggi, adanya pengelolaan diri dalam belajar juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa. Dengan pengelolaan diri dalam belajar yang baik, tentu memperbesar peluang berprestasi tinggi.
Namun pada kenyataannya tidak semua siswa yang memiliki IQ tinggi memperoleh prestasi yang tinggi pula. Dalam dunia pendidikan hal ini dikenal dengan istilah underachievement. ’Underachievement itu sendiri terjadi jika ada ketidaksesuaian antara prestasi sekolah anak dan indeks potensi sebagaimana nyata dari tes intelegensi, kreativitas, atau dari data observasi, di mana tingkat prestasi sekolah lebih rendah daripada potensinya’ (Davis dan Rimm dalam Munandar, 2004: 239). Underachiever banyak dialami oleh siswa berbakat intelektual yang notabene memiliki tingkat IQ di atas 120. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pihak Depdikbud pada tahun 1994 dalam Hawadi (2004: 13) menunjukan bahwa ’sepertiga peserta didik yang digolongkan sebagai siswa berbakat mengalami prestasi kurang’. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Yaumil Achir tahun 1990 dalam Hawadi (2004: 69) yang menemukan ‘dari 199 anak berbakat yang terjaring sekitar 77 orang (38,7 %) tergolong underachiever’.
Adanya fenomena underachiever sangat mengundang perhatian berbagai pihak untuk segera mengatasinya, khususnya yang bergerak di bidang pendidikan. Jika hal ini dibiarkan maka negara akan mengalami kerugian yang besar. Anak berbakat yang seharusnya menjadi generasi unggul penerus bangsa justru akan menjadi beban Negara, karena mereka tumbuh menjadi manusia yang kurang produktif. Dengan demikian kualitas sumber daya manusia Indonesia justru akan semakin menurun dan tertinggal dibandingkan negara lainya.
Hal ini diperkuat dengan laporan yang menunjukan kualitas sumber daya manusia masih tertinggal jauh dibanding negara lainnya di dunia. Berdasarkan laporan Faiz yang dikeluarkan oleh UNDP (United Nations Development Programme) pada Human Development Report 2005, ternyata Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Selain itu dari data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvai di dunia, dan hanya berpredikat sebagai follower dari 53 negara di dunia (www.jurnalhukum.blogspot.com). Namun jika permasalahan underachiever mendapat penanganan yang serius tidak dapat dipungkiri kualitas sumber daya manusia akan semakin meningkat, sehingga bangsa Indonesia akan tumbuh menjadi bangsa yang maju.
Munculnya siswa underachiever ternyata tidak lepas dari beberapa faktor penyebab. Seperti yang diungkapkan oleh Hawadi (2004: 70) bahwa ’munculnya underachiever biasanya disebabkan oleh beberapa faktor yaitu sekolah, rumah, budaya dan pribadi’. Kurikulum sekolah yang tidak sesuai dengan perkembangan siswa, lingkungan sekolah kurang kondusif untuk belajar, cara mengajar guru yang kurang efektif, dan kurangnya penghargaan terhadap prestasi siswa menjadi salah satu penyebab munculnya underachiever. Orang tua yang terlalu dominan atau tidak peduli dengan kegiatan anak, kondisi sosial ekonomi yang kurang, serta munculnya disfungsi keluarga juga menjadi pemicu munculnya underachiever. Dari pribadi siswa sendiri sebenarnya sangat berpotensi juga menyebabkan dirinya underachiever. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan seseorang menjadi underachiever, diantaranya perfectionism, terlalu sensitif, tidak berdaya guna dalam keterampilan sosial, terlalu banyak kegiatan, kurangnya motivasi belajar, merasa kurang sesuai dengan cara mengajar guru, dan merasa kurang mampu berprestasi.
Mencermati penyebab underachiever dilihat dari faktor pribadi, maka mereka dapat disimpulkan mengalami masalah berkaitan dengan kurangnya pengelolaan diri dalam belajar. Menurut Nugroho ’Pengelolaan diri dalam belajar merupakan derajat metakognisi, motivasional dan perilaku individu di dalam proses belajar yang dijalani untuk mencapai tujuan belajar yang diinginkan’ (www.ditplb.or.id). Dengan demikian pengelolaan diri dalam belajar merupakan kemampuan seseorang untuk mengelola secara efektif kegiatan belajarnya, yang melibatkan beberapa aspek penting dalam belajar yaitu dari segi motivasi, strategi belajar, dan pemantauan lingkungan belajarnya.
Pengelolaan diri dalam belajar perlu dimiliki oleh setiap orang dalam berbagai aktivitas belajar yang dilakukan. Alasannya yaitu dengan adanya pengelolaan diri dalam belajar akan mengubah pandangan kita bahwa yang menentukan keberhasilan seseorang bukan lagi potensi diri dan faktor lingkungan saja, akan tetapi kesanggupan individu untuk merancang sendiri strategi meningkatkan potensi dan mengelola lingkungan yang kondusif juga sangat penting. Jadi dengan pengelolaan diri dalam belajar mengarahkan individu untuk memiliki kesadaran yang tinggi akan potensi yang dimiliki, kemudian tahu bagaimana cara menggunakan potensi tersebut untuk mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan.
Berkaitan dengan siswa underachiever, maka mereka perlu dibantu untuk meningkatkan pengelolaan diri dalam kegiatan belajarnya. Tujuannya yaitu agar mereka mampu menunjukan hasil kinerja (prestasi) yang sesuai dengan potensi. Upaya bantuan yang dapat dilakukan misalnya dengan meningkatkan motivasi belajar dan berprestasi, pemberian informasi mengenai strategi belajarnya, dan pengelolaan perilaku dalam hubungannya dengan usaha menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Bantuan di atas dapat diupayakan melalui peran keluarga sebagai fungsi pendidikan.
Dalam fungsi pendidikan, keluarga menjadi media belajar anak mengenai segala sesuatu melalui orang tua atau anggota keluarga yang lain, termasuk mengelola diri dalam kegiatan belajarnya. Orang tua dilibatkan untuk memberikan pemahanan dan dukungan pada anak agar mampu melakukan pengelolaan diri dalam belajar secara baik. Keterlibatan orang tua dalam hal ini berperan sebagai orang yang bisa membantu anak ketika mengalami kesulitan dalam belajar yang mengarah pada underachiever. Pada pengelolaan diri dalam belajar mencari bantuan menjadi salah satu komponen penting yang perlu dilakukan siswa dalam kegiatan belajar. Dengan kata lain orang tua dapat menempatkan diri sebagai fasilitator.
Oleh karena itu agar orang tua dapat berperan sebagai fasilitator ketika anak mengembangkan pengelolaan diri dalam belajarnya, orang tua perlu diberi pemahaman tentang underachiever dan pengelolaan diri dalam belajar. Alasannya yaitu orang tua cenderung belum tahu kalau anaknya termasuk siswa berbakat sehingga mengabaikan pendampingan atau justru terlalu mendominasi kegiatan belajar anak. Akibatnya anak tidak mampu mengelola dirinya dalam belajar secara maksimal, sehingga menjadi anak undercahiever. Untuk mengoptimalkan peran orang tua dalam membantu anak mengembangkan pengelolaan diri dalam belajar, maka perlu diberi pelatihan tentang pengelolaan diri dalam belajar. Dalam pelatihan tersebut orang tua diberi pengetahuan dan pemahaman mengenai anaknya yang tergolong berbakat, akan tetapi justru memiliki prestasi rendah sehingga perlu dikembangkannya pengelolaan diri anak dalam belajar.
Orang tua dapat mengetahui informasi tentang pengelolaan diri dalam belajar melalui membaca atau melalui media lain, akan hasilnya akan lebih maksimal jika dilakukan secara nyata melalui pelatihan. Dengan pelatihan diharapkan orang tua tidak hanya menerima informasi searah tetapi dapat saling berinteraksi satu dengan yang lain untuk mendiskusikan perlunya pengelolaan diri dalam belajar bagi anak-anaknya. Melalui diksusi orang tua dapat saling bertukar pikir mengenai anak-anak yang menunjukan gelaja underachiever dan bersama-sama mengupayakan solusi terbaik untuk mengatasinya melalui pengelolaan diri dalam belajar. Jadi setelah mendapatkan pelatihan diharapkan orang tua dapat dijadikan tempat meminta bantuan bagi anaknya ketika mengalami kesulitan belajar. Ketika membantu anaknya yang mengalami kesulitan belajar, secara implisit orang tua dapat mengarahkan anaknya agar dapat mengelola diri dalam belajar tanpa menjadikan anak tergantung pada bantuan orang tua atau orang lain.




B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dapat penulis ajukan yaitu “Bagaimana penerapan pelatihan pengelolaan diri dalam belajar pada siswa underachiever melalui pendampingan orang tua”?

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai oleh penulis yaitu mendeskripsikan penerapan pelatihan pengelolaan diri dalam belajar pada siswa underachiever melalui pendampingan orang tua.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai oleh penulis yaitu:
1. Memberikan informasi kepada orang tua mengenai anak underachiever.
2. Memberikan solusi menangani siswa underachiever melalui pendampingan orang tua.




















BAB II
LANDASAN TEORI



A. Underachievement

1. Pengertian Underachievement
Seperti yang sudah dijelaskan pada latar belakang bahwa tidak semua siswa yang memiliki IQ tinggi menunjukan prestasi belajar yang tinggi pula. Fenomena seperti ini dikenal dengan istilah underachievement.
Menurut Davis dan Rimm dalam Munandar (2004: 238) dijelaskan bahwa yang dimaksud underachievement atau berprestasi di bawah kemampuan adalah ’jika ada ketidaksesuaian antara prestasi sekolah dan indeks kemampuannya sebagaimana nyata dari tes intelegensi, prestasi atau kreativitas, atau dari data observasi, di mana prestasi sekolah nyata lebih rendah daripada tingkat kemampuan’.
Selain itu menurut Semiawan (1997: 209) menyebutkan bahwa yang dimaksud ’underachievement adalah kinerja yang secara signifikan berada di bawah potensinya’.
Jadi yang dimaksud underachievement adalah hasil kerja atau prestasi individu yang berada di bawah potensi sebenarnya. Atau dengan kata lain seseorang mengalami underachievement jika hasil kinerjanya rendah, padahal secara potensi individu tersebut mampu mencapai prestasi lebih dari itu.

2. Kriteria Underachievement
Ada beberapa kriteria seseorang dikategorikan mengalami underachievement menurut Semiawan (1997: 213), yaitu:
a. Memiliki sikap sosial yang tidak matang, seperti ditolak oleh teman sebaya, antagonisme, dan menunjukan sikap permusuhan.
b. Memiliki sikap negatif terhadap pekerjaan sekolah, sehingga berakibat pada kebiasaan belajar yang kurang, gagl menyelesaikan tugas, gagal menguasai keterampilan dasar, kinerja tes yang kurang, mudah teralihkan perhatiannya, memiliki motivasi yang rendah, kurang tekun, aspirasi rendah, dan memiliki standar yang tidak relaistik.
c. Memiliki rasa harga diri rendah yang menghasilkan perilaku tidak produktif dan tidak mandiri.
Menurut Clark (1992: 471) ada beberapa karakeristik yang ditunjukan siswa underachiever, yaitu sebagai berikut:
a. Memiliki konsep diri yang rendah.
b. Merasa tidak diterima oleh keluarga.
c. Merasa tidak berdaya, sehingga tidak respon dengan kegiatan.
d. Menunjukan prestasi yang berlawanan dengan harapan atau potensi yang dimilikinya.
e. Menunjukan perilaku gaduh dan cenderung melawan.
f. Merasa menjadi korban.
g. Merasa tidak senang dengan sekolah atau gurunya dan cenderung bergabung dengan teman yang juga memiliki sikap negatif terhadap sekolah.
h. Menunjukan perilaku yang memberontak.
i. Kurang termotivasi untuk belajar, tidak mengerjakan tugas, sering mengantuk ketika belajar dan tidak tuntas dalam mengerjakan tugas.
j. Kurang mampu melakukan penyesuaian intelektual.
k. Merasa kurang bersemangat, kurang tegas dan sering ribut di kelas.
l. Kurang mampu menjadi pemimpin dan kurang popular diantara teman yang lain.
m. Memiliki disiplin yang rendah, sering telat sekolah, enggan mengerjakan tugas, sering ribut, dan mudah terpengaruh.
n. Menunjukan penyesuaian diri yang rendah dan cepat tersinggung.
o. Tidak memiliki hobi atau minat terhadap kegiatan untuk mengisi waktu luang.
p. Takut ujian dan berprestasi rendah.
q. Memiliki tingkat aspirasi yang rendah dan tujuan yang tidak jelas.
r. Tidak dapat berfikir dan merencanakan masa depan.
s. Memilih tujuan hidup yang kurang sesuai dengan minat dan potensi.
t. Memilih karier hanya yang menjadi tren bukannya berusaha menciptakan karier yang berbeda.

3. Faktor Penyebab Underachievement
Menurut Munandar (2004: 241) ada beberapa kerentanan yang dapat menyebabkan seseorang mengalami underachievement, yaitu:
a. Dari segi kepribadian
1) Perfeksionisme, yaitu dorongan untuk mencapai kesempurnaan. Dorongan ini akan membuat anak berbakat merasa tidak puas dengan prestasi yang tidak memenuhi tujuan pribadinya. Akibatnya siswa hanya mau melakukan kegiatan yang dinilainya akan berhasil.
2) Supersensitivity, yaitu kepekaan yang berlebih. Sistem saraf yang terlalu peka membuat siswa berbakat lebih peka dalam pengamatan, menanggapai dirinya dan lingkungan, analitis dan kritis. Akan tetapi akibatnya terkadang menyebabkan siswa berbakat mudah tersinggung.
3) Kurang keterampilan sosial. Anak berbakat biasanya sulit untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan sosialnya.
b. Dari segi lingkungan
1) Isolasi sosial.
Biasanya anak berbakat dianggap tidak sama dengan kelompoknya karena terlalu kreatif dalam berbagai tindakannya, sehingga terkadang mengalami pengucilan dari kelompok sebayanya.
2) Harapan yang tidak realistis.
Adanya harapan dari lingkungan sekitar yang menuntut anak berbakat harus memiliki prestasi yang baik dalam segala bidang, terkadang membuat anak justru merasa terbebani.

3) Tidak tersedia pelayanan pendidikan yang sesuai.
Bagi anak berbakat, pelayanan pendidikan yang tidak mendukung perkembangannya justru akan menghambat anak mengembangkan bakatnya, akibatnya prestasi yang diperoleh jauh dari kemampuannya.
Hawadi (2004: 70) menyebutkan beberapa faktor penyebab underachievement, yaitu sebagai berikut:
a. Faktor sekolah, antara lain:
1) Lingkungan sekolah tidak mendukung atau memberikan penghargaan terhadap keberhasilan akademik.
2) Kurikulum tidak cocok dengan siswa.
3) Lingkungan kelas yang kaku dan otoriter.
4) Penghargaan tidak dibuat untuk perbedaan individual.
5) Gaya belajar siswa yang tidak cocok dengan cara mengajar guru.
b. Faktor rumah, antara lain:
1) Belajar dan prestasi tidak mendapat penghargaan.
2) Tidak ada sikap positif orang tua terhadap karier anak.
3) Orang tua terlalu dominan dalam belajar anak.
4) Prestasi anak menjadi ancaman bagi kebutuhan superioritas orang tua.
5) Adanya perebutan kekuasaan dalam keluarga.
6) Status sosial ekonomi yang rendah.
7) Keluarga mengalami disfungsi dengan berbagai alasan.
c. Faktor lainnya, terdiri dari:
1) Terjadinya gangguan belajar, kondisi tidak mampu, ketidaksesuaian atas cara mengajar guru.
2) Faktor-faktor kepribadian seperti perfectionism, terlalu sensitif, tidak berdaya guna dalam keterampilan sosial, malu dan rendah diri karena berbeda dengan siswa lain, tidak percaya diri, dan terlalu banyak kegiatan.


Menurut Sunawan (2005: 129) dijelaskan bahwa ”prestasi rendah yang dialami siswa berbakat (underachiever) umumnya disebabkan oleh faktor kepribadian siswa yang tidak mendukung untuk belajar”, diantaranya motivasi yang rendah, sikap negatif terhadap guru, orang tua atau suatu mata pelajaran, memiliki harga diri yang rendah, ketidakyakinan akan kemampuannya, dan lain-lain.

B. Pengelolaan diri dalam belajar

1. Pengertian Pengelolaan Diri dalam Belajar
Menurut Zimmerman dalam Nugroho (www.ditplb.or.id) ’pengelolaan diri dalam belajar merupakan derajat metakognisi, motivasional dan perilaku individu di dalam proses belajar yang dijalani untuk mencapai tujuan belajar’.
Adapun menurut Bandura dalam Waruwu dan Tjalla (www.psikologi-untar.com) menyatakan bahwa ’pengelolaan diri dalam belajar lebih pada menunjukan perilaku seseorang yang diarahkan untuk mengobservasi tingkah lakunya sendiri, menilai tingkah lakunya sendiri sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan’ .
Sunawan (2003: 22) juga mendefinisikan ”pengelolaan diri dalam belajar sebagai suatu kegiatan belajar yang melibatkan aspek metakognisi, motivasi dan perilaku individu siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar”. Keterlibatan aspek metakognisi terjadi dalam bentuk pembuatan perencanaan tujuan dan strategi kegiatan belajar, pemantauan kegiatan belajar, dan evaluasi terhadap kegiatan belajar yang telah dilaksanakannya. Keterlibatan aspek motivasi berupa pengarahan perilaku untuk mencapai kegiatan belajar. Aspek perilaku dalam pengelolaan diri dalam belajar dalam belajar berbentuk perwujudan perilaku untuk senantiasa mencapai tujuan kegiatan belajar.
Mencermati beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pada pengelolaan diri dalam belajar melibatkan kemampuan metakognisi, motivasi dan perilaku dalam kegiatan belajar, sehingga dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Siswa yang melibatkan aspek-aspek metakognisi, motivasi, dan perilaku dalam melaksanakan kegiatan belajarnya akan cenderung untuk menjadi otonom dalam melaksanakan kegiatan belajar. Mereka pada umumnya lebih bertanggungjawab terhadap kegiatan belajarnya karena mereka menyadari bahwa hanya atas usaha mereka sendirilah tujuan belajar mereka dapat dicapai.

2. Komponen Pengelolaan diri dalam belajar
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam pengelolaan diri dalam belajar melibatkan tiga komponen utama, yaitu aspek motivasional, metakognisi, dan perilaku. Hal ini secara jelas disebutkan oleh Zimmerman dalam Sunawan (2005: 130) bahwa dalam ‘pengelolaan diri dalam belajar melibatkan secara aktif aspek metakognisi, motivasi dan perilaku dalam proses belajar’. Tiga komponen tersebut secara bersama-sama saling mempengaruhi satu sama lain. Untuk lebih jelasnya, penjelasan mengenai komponen dalam pengelolaan diri dalam belajar dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Motivasi
‘Motivasi merupakan suatu konstruk yang digunakan untuk menjelaskan prakarsa, arahan, dan intensitas dari perilaku individual’ (Byrnes dalam Sunawan, 2003: 18). Selain itu Slavin dalam Anni (2006: 156) juga menyatakan bahwa ‘motivasi merupakan proses internal yang mengaktifkan, memandu, dan memlihara perilaku seseorang secara terus menerus’.
Berpedoman pada pengertian mengenai motivasi tersebut, maka motivasi menjadi kunci utama dalam pengelolaan diri dalam belajar. Alasannya yaitu dengan adanya motivasi yang tinggi, maka individu akan berusaha mencapai apa yang diinginkan. Hal ini sesuai dengan hakekat motivasi yang berguna sebagai daya pendorong untuk bertindak. Berkaitan dengan pengelolaan diri dalam belajar dalam belajar, maka motivasi yang berperan lebih bersifat instrinsik. Artinya seseorang terdorong untuk melakukan aktivitas belajar maupun berprestasi lebih disebabkan oleh dorongan dalam diri individu tersebut bukan karena desakan lingkungan, baik itu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dengan kata lain motivasi dalam pengelolaan diri dalam belajar diibaratkan sebagai panggilan jiwa untuk berusaha mencapai tujuan yang, khususnya dalam belajar.
Menurut Zimmerman dalam Sunawan (2003: 18) dijelaskan bahwa ‘komponen motivasi pada pengelolaan diri dalam belajar dipengaruhi oleh beberapa bagian yaitu efikasi diri, orientasi tujuan, nilai, dan atribusi’.
b. Metakognisi
Menurut McCown dkk dalam Sunawan (2005: 130) dijelaskan bahwa ‘metakognisi berkaitan dengan pengetahuan tentang cara berfikir dan kemampuan untuk memonitor proses kognitifnya seperti belajar, mengingat dan berfikir’. Dengan kata lain metakognisi diartikan sebagai strategi seseorang dalam belajar.
‘Dalam komponen metakognisi ada beberapa strategi belajar yang digunakan, yaitu pengulang-ulangan (rehearsing), pengelaborasian (elaborating), peniruan (modelling), dan pengorganisasian (organizing)’ (Purdie dkk dalam Sunawan, 2003: 22).
c. Perilaku
Komponen berikutnya dalam pengelolaan diri dalam belajar yaitu perilaku. Komponen ini lebih menitikberatkan pada hubungan pelaku belajar dengan lingkungan belajarnya. Hal ini dilakukan karena tidak akan berjalan lancar ketika melaksanakan proses belajar jika tidak didukung oleh lingkungan yang kondusif. Lingkungan belajar ini tidak hanya yang bersifat fisik akan tetapi melibatkan aspek sosial. Lingkungan secara fisik dapat dilihat dari segi ruang belajar, kelengkapan bahan belajar, dan tersedianya peralatan belajar yang mendukung. Adapun lingkungan yang bersifat sosial mengacu pada hubungan individu yang satu dengan yang lain. Interaksi ini penting karena sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri. Begitu juga ketika belajar, pasti membutuhkan orang lain. Oleh karena itu pada komponen perilaku ini meliputi penstrukturan lingkungan belajar yang kondusif dan pencarían bantuan dalam belajar.

3. Karakteristik Pengelolaan diri dalam belajar
Menurut Nugroho ”Pengelolaan diri dalam belajar dapat dikenali karena memiliki karakteristik tertentu yaitu adanya kesadaran atas potensi yang dimiliki dan mampu menggunakan potensi tersebut secara optimal untuk mencapai tujuan” (www.ditplb.or.id).
Nugroho (www.ditplb.or.id) juga menyebutkan bahwa pengelolaan diri dalam belajar berasumsi bahwa:
a. Individu dapat meningkatkan hasil belajar melalui penggunaan strategi metakognitif dan strategi motivasional secara selektif.
b. Individu secara proaktif memilih struktur dan mengkreasikan lingkungan belajar yang menguntungkan untuk mencapai tujuan belajar.
c. Individu dapat memainkan peran yang signifikan dan memilih bentuk aktivitas belajar yang sesuai kebutuhan.

4. Tahapan Pengelolaan diri dalam belajar
Menurut Pintrich dalam Montalvo dan Torres (2004: 4) dijelaskan bahwa proses pengelolaan diri dalam belajar dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu sebagai berikut:
a. Perencanaan (Planning)
Pada tahap ini siswa menentukan tujuan yang spesifik dan menggunakan strategi metakognitif pada aspek kognitifnya, menumbuhkan self efikasi pada aspek motivasinya dan merencanakan waktu dan usaha pada aspek perilakunya.


b. Tahap pengawasan diri
Pada tahap ini siswa mengawasi kemampuan berfikir pada aspek kognitifnya, mengawasi motivasi dan emosi pada aspek motivasi, dan mengawasi usaha dan waktu belajar pada aspek perilakunya.
c. Tahap kontrol kegiatan
Pada tahap ini siswa mengontrol strategi belajar pada aspek kognitifnya, kontrol motivasi dan emosi pada aspek motivasinya, dan kontrol waktu serta usaha pada aspek perilakunya.
d. Tahap evaluasi atau refleksi
Pada tahap ini siswa membandingkan hasil belajar yang dicapainya dengan stándar penilaian yang telah ditetapkan pada aspek kognitifnya, menggunakan atribusi dalam memandang kesuksesan atau kegagalan pada aspek motivasi, dan menilai perilaku belajarnya.

5. Ciri-ciri Siswa yang Memiliki Pengelolaan diri dalam Belajar
Menurut Montalvo dan Torres (2004: 3) bahwa siswa yang memiliki pengelolaan diri dalam belajar menunjukan beberapa kriteria yaitu sebagai berikut:
a. Siswa mengetahui bagaimana menggunakan strategi pemikiran, seperti pengulangan, pengelaborasian, dan penstrukturan yang dapat membantu dalam pemahaman terhadap informasi yang dipelajari.
b. Siswa menunjukan pada kepercayaan pada kemampuannya yang mengarahkan diri untuk berprestasi.
c. Mampu membuat perencanaan dan kontrol terhadap waktu ,usaha, dan lingkungan belajar yang kondusif.
d. Menunjukan usaha dan partisipasi yang besar dalam mengontrol tugas dan lingkungan belajar.
e. Dapat memilih strategi dan tujuan belajar serta meminimalisir gangguan belajar dengan lebih mengutamakan konsntrasi dan motivasi dalam belajar.


6. Upaya Meningkatkan Pengelolaan Diri dalam belajar
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengelolaan diri dalam belajar dalam belajar pada siswa menurut Ormrod (2003: 357), diantaranya sebagai berikut:
a. Memberi semangat pada siswa untuk memilih dan memonitor beberapa tujuan belajar yang diinginkan.
b. Memberi kesempatan pada siswa untuk belajar dan berprestasi secara optimal tanpa ada tekanan dari luar.
c. Memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan aktivitas yang melibatkan tujuan belajarnya, pengelolaan strategi, dan waktu belajar.
d. Membantu melengkapi sarana belajar yang dibutuhkan.
e. Memberi kesempatan pada siswa untuk berfikir kritis dan memberikan umpan balik atas usaha yang dilakukannya.
f. Meminta siswa melakukan evaluasi terhadap hasil yang telah diperoleh apakah sudah sesuai dengan tujuan dan strandar yang telah ditetapkan.





















BAB III
METODE PENULISAN



A. Pengumpulan Data
Data dan fakta yang ada dalam karya tulis ilmiah ini diperoleh melalui studi pustaka dari berbagai sumber, yaitu buku, jurnal, dan hasil browsing di internet. Data yang dperoleh masih tergolong data awal yang belum diklasifikasi secara sistematis.

B. Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul melalui studi pustaka tersebut kemudian diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu (1) underachievement, dan (2) pengelolaan diri dalam belajar.

C. Analisis Sintesis
Pembahasan dalam karya tulis ini merupakan jawaban dari permasalahan yang telah diajukan yaitu berupa penerapan pelatihan pengelolaan diri dalam belajar pada anak underachiever melalui pendampingan orang tua.

D. Pengambilan Simpulan
Simpulan diambil berdasarkan pada bab pembahasan.

E. Perumusan saran atau rekomendasi
Saran diambil berdasarkan pada bab pembahasan dan simpulan, kemudian diajukan pada pihak sekolah untuk bekerjasama merealisasikan pelatihan tersebut.









BAB IV
PEMBAHASAN


Penerapan Pelatihan Pengelolaan Diri dalam Belajar pada Siswa Underachiever melalui Pendampingan Orang Tua

A. Nama Kegiatan
Pelatihan pengelolaan diri dalam belajar pada siswa underachiever melalui pendampingan orang tua

B. Tujuan
Kegiatan pelatihan pengelolaan diri dalam belajar pada siswa underachiever melalui pendampingan orang tua memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Meningkatkan kesadaran orang tua akan keberadaan anak berbakat.
2. Memberikan pemahaman pada orang tua mengenai kecenderungan anak berbakat yang mengalami underachievement.
3. Mengupayakan bantuan pengelolaan diri dalam belajar untuk menangani siswa underachiever melalui pendampingan orang tua.

C. Sasaran
Sasaran dari pelatihan ini yaitu orang tua yang memiliki anak underachiever.

D. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Pelatihan ini dilaksanakan di sekolah setiap dua minggu sekali.

E. Pelaksana Kegiatan
Pelatihan ini dilaksanakan dengan melibatkan berbagai pihak diantaranya konselor sekolah, psikolog dan tokoh pendidikan. Konselor bersama psikolog berperan untuk mengidentifikasi siswa underachiever melalui perbandingan tes IQ dan hasil prestasi belajar. Selain mereka juga dapat dijadikan narasumber dalam ceramah dan diskusi bersama tokoh pendidikan lainnya (guru, dosen, kepala sekolah, dinas pendidikan dan lain-lain).


F. Metode Pelaksanaan
Pelatihan ini dilaksanakan dengan dua tahap yaitu:
1. Pemberian informasi secara klasikal mengenai underachievement dan pengelolaan diri dalam belajar.
Langkah awal yang akan dilakukan yaitu melibatkan pihak sekolah (konselor) untuk mengidentifikasi siswa underachiever. Cara yang dilakukan yaitu dengan membandingkan antara hasil prestasi belajar (raport) dengan tes IQ. Jika ada ketidaksesuaian antara prestasi minimal (passing grade) yang seharusnya dicapai dengan tingkat IQ tertentu, maka dapat digolongkan siswa tersebut mengalami underachievement. Untuk mengkatagorikan siswa underachiever dapat dilakukan dengan pedoman sebagai berikut:
Tabel 1
Pedoman Pengkategorian Underachiever

NO IQ passing grade
1 90-109 6
2 110-119 7
3 120-139 8
4 140 ke atas 9

Sumber: Baharuddin dan Wahyuni (2007: 157)

Setelah terkumpul data siswa underachiever, maka pihak sekolah dalam hal ini diwakilkan oleh konselor mengundang orang tua siswa tersebut untuk menghadiri pelatihan. Pada kegiatan ini orang tua diberi informasi mengenai fenomena underachievement dan pentingnya pengelolaan diri dalam belajar melalui metode ceramah. Penjelasan ini diperlukan guna memberikan pemahaman dan kesadaran pada orang tua bahwa mereka adalah orang yang beruntung karena memiliki anak berbakat. Dengan adanya pemahaman pada orang tua mengenai anaknya yang underachiever diharapkan mereka dapat segera tanggap agar tidak menjadi salah satu penyebab underachiever. Selain itu para orang tua dapat mengupayakan bantuan pada anak untuk mengelola diri dalam kegiatan belajarnya.
Pada kesempatan ini pihak sekolah dapat mengadakan kegiatan dalam bentuk pertemuan orang tua, dengan menghadirkan psikolog atau tokoh pemerhati pendidikan sebagai nara sumber. Nara sumber menjelaskan mengenai anak underachiever dan upaya penanganan melalui pengelolaan diri dalam belajarnya kepada para orang tua. Dalam hal ini nara sumber tidak hanya memberikan ilmu tetapi juga membimbing orang tua agar mengarahkan pada anaknya mengenai pentingnya pengelolaan diri dalam belajar. Orang tua dalam hal ini berperan sebagai pihak yang dapat dimintai tolong anaknya untuk mengembangkan pengelolaan diri dalam belajar. Dengan kata lain mereka menjadi fasilitator untuk mengembangkan pengelolaan diri dalam belajar pada anak, sehingga anak tidak terpuruk menjadi underachiever.

2. Diskusi kelompok untuk membahas mengenai underachievement dan pengelolaan diri dalam belajar.
Setelah orang tua diberi informasi melalui ceramah kemudian dapat memahami fenomena underachievement dan pentingnya pengelolaan diri dalam belajar, maka langkah selanjutnya adalah membentuk kelompok kecil yang terdiri dari 10-15 orang untuk membahas lebih mendalam mengenai hasil ceramah. Kelompok-kelompok tersebut dibentuk dengan tujuan membahas fenomena nyata mengenai anaknya yang underachiever, kemudian bersama-sama mencari solusi yang tepat dan sesuai kebutuhan. Dengan diselenggarakannya diskusi ini, orang tua tidak hanya menerima informasi searah dari nara sumber, melainkan dapat saling bertukar pengalaman dan mencurahkan pikiran untuk mencari jalan keluar terbaik. Oleh karena itu pembentukan kelompok ini dapat memberikan kontribusi yang efektif dalam upaya menangani anaknya yang underachiever.
Dalam tahap ini pihak yang dilibatkan tidak hanya konselor, psikolog, tokoh pendidikan maupun orang tua yang memiliki anak underachiever, tetapi juga dapat mengundang nara sumber lain yaitu orang tua yang telah berhasil mengarahkan anaknya yang mengalami underachiever untuk mengelola diri dalam belajar. Peserta dapat memetik pengalaman berharga dari nara sumber mengenai usaha dalam mengarahkan anaknya agar dapat mengelola diri dalam kegiatan belajarnya. Kehadiran nara sumber ini dapat menambah wawasan bagi para orang tua yang mengikuti pelatihan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan diskusi kelompok ini, yaitu sebagai berikut:
a. Unsur-unsur Diskusi Kelompok
1) Pemimpin kelompok
Pemimpin kelompok merupakan orang yang memiliki tugas memimpin jalannya diskusi. Pemimpin kelompok dalam diskusi ini yaitu konselor, tokoh pendidikan dan psikolog. Seorang pemimpin kelompok memiliki peranan:
a) Memberikan pengarahan terhadap jalannya kegiatan diskusi.
b) Memusatkan perhatian anggota pada pembahasan mengenai underachievement dan pengelolaan diri dalam belajar.
c) Memberikan tanggapan tentang berbagai pertanyaan, sanggahan atau pernyataan dari anggota mengenai topik yang sedang dibahas.
d) Mengatur jalannya kegiatan kelompok.
e) Merahasiakan sesuatu yang dianggap penting bagi kelompok.
2) Anggota kelompok
Dalam diskusi ini anggota yang dilibatkan antara 10-15 orang per kelompok. Anggota juga mempunyai peranan dalam kelompok, yaitu:
a) Membantu terbinanya keakraban dalam hubungan antar anggota kelompok.
b) Mencurahkan segenap perasaan dan melibatkan diri dalam kegiatan diskusi.
c) Membantu tercapainya tujuan bersama.
d) Membantu menyusun aturan kelompok dan berusaha mematuhinya.
e) Mampu berkomunikasi secara terbuka.
f) Memberikan kesempatan pada anggota lain untuk melaksanakan perannya.
3) Dinamika Kelompok
Dinamika kelompok mampu mengarahkan semua anggota dan pemimpin kelompok untuk melakukan hubungan interpersonal satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu produktivitas kelompok akan tercapai apabila ada interaksi yang harmonis antar anggotanya dan anggota dengan pemimpin kelompok.
b. Tujuan Diskusi Kelompok
Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui diskusi ini, yaitu sebagai berikut:
1) Memberikan pemahaman lebih mendalam kepada orang tua mengenai undercahievement dan pengelolaan diri dalam belajar.
2) Secara bersama-sama membahas dan mengupayakan bantuan terbaik sesuai dengan keadaan dan kebutuhan dari anak undercahiever.
c. Pembentukan Kelompok
Ada beberapa hal perlu diperhatikan dalam pembentukan kelompok, yaitu sebagai berikut:
1) Memilih Anggota Kelompok
Keanggotaan merupakan salah satu unsur pokok dalam kehidupan kelompok. Kehidupan kelompok sangat dipengaruhi oleh peranan dan keikutsertaan anggota dalam kegiatan kelompok. Dalam diskusi ini anggota kelompok yaitu para orang tua yang memiliki anak underachiever.
2) Jumlah Anggota Kelompok
Jumlah anggota dalam kegiatn kelompok berkisar antara10-15 orang
3) Frekuensi Pertemuan
Frekuensi pertemuan kegiatan diskusi kelompok ini dua minggu sekali, setelah diadakan ceramah secara klasikal. Alasannya yaitu jika terlalu sering akan menimbulkan kebosanan. Selain itu dengan adanya jangka waktu dapat memberikan kesempatan pada orang tua untuk mengevaluasi hasil diskusi.
4) Jangka Waktu
Proses diskusi kelompok berlangsung kurang lebih selama 90 menit setiap pertemuannya.
5) Tempat Pelaksanaan
Kegiatan ini dilaksanakan di sekolah
Posisi duduk dalam kegiatan diskusi kelompok dapat dilihat pada gambar berikut ini:













Gambar 1
Posisi Duduk dalam Diskusi Kelompok

Keterangan:

= Pemimpin kelompok


= Anggota Kelompok

d. Tahapan Diskusi Kelompok
Tahapan diskusi ini, yaitu sebagai berikut:
1) Tahap pembentukan
Pada tahap ini merupakan tahap pengenalan dan pelibatan diri dalam kelompok. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemimpin kelompok, yaitu sebagai berikut:
a) Mengungkapkan pengertian, dan tujuan kegiatan diskusi kelompok.
b) Menjelaskan aturan dan prosedur kegiatan diskusi kelompok.
c) Mengarahkan anggota untuk memperkenalkan diri.
d) Teknik khusus (bisa dengan permainan) untuk mengakrabkan suasana.
Tujuan yang ingin dicapai pada tahap ini yaitu:
a) Anggota memahami pengertian dan kegiatan diskusi kelompok.
b) Tumbuhnya minat anggota mengikuti kegiatan kelompok.
c) Tumbuhnya keakraban, kepercayaan, penerimaan dan saling membantu antar anggota.
d) Tumbuhnya suasana bebas dan terbuka.
e) Pembahasan perasaan dalam kelompok.
2) Tahap peralihan
Sebelum melangkah ke tahap inti, maka perlu dilakukan tahap peralihan. Tahap ini perlu dilaksanakan karena memiliki tujuan, yaitu:
a) Terbebasnya anggota dari rasa dan sikap cemas, enggan, malu dan tidak percaya untuk masuk tahap berikutnya.
b) Makin mantapnya suasana keakraban dalam kelompok dan kebersamaan.
c) Meningkatkan minat mengikuti kegiatan.


Dalam tahap ini peran pemimpin kelompok yaitu:
a) Menjelaskan pada anggota mengenai kegiatan yang akan ditempuh pada tahap berikutnya.
b) Menawarkan atau mengamati apakah anggota sudah siap mengikuti kegiatan inti.
c) Membahas suasana yang terjadi.
d) Meningkatkan keikutsertaan anggota dalam kegiatan diskusi kelompok.
e) Jika anggota belum siap mengikuti tahap inti, maka bisa kembali ke tahap sebelumnya yang dirasa penting.
3) Tahap kegiatan
Tahap ini merupakan inti dari kegiatan kelompok. Pada tahap ini peranan dinamika kelompok sangat membantu terciptanya keharmonisan kelompok. Dinamika kelompok yang tumbuh pada tahap ini dapat dijadikan media yang cukup efektif bagi anggota dalam mengembangkan dirinya. Para anggota dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasinya, menanggapi dan menerima tanggapan, memberi dan menerima, menghormati orang lain, pengendalian diri dan lain-lain.
Tujuan yang ingin dicapai pada tahap ini, yaitu sebagai berikut:
a) Membahas topik underachievement dan pengelolaan diri secara mendalam dan tuntas.
b) Melibatkan peran serta anggota secara aktif untuk membahas topik.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini, yaitu:
a) Menstruktur topik yang dibahas.
b) Membahas topik underachievement dan pengelolaan diri dalam belajar.
c) Kegiatan selingan.


4) Tahap pengakhiran
Pada tahap ini terdapat dua kegaiatn inti yaitu penilaian dan tindak lanjut. Tujuan yang ingin dicapai pada tahap ini, yaitu:
a) Terungkapnya kesan-kesan anggota tentang pelaksanaan kegiatan.
b) Terungkapnya hasil kegiatan diskusi kelompok secara mendalam dan tuntas.
c) Terungkapnya rencana kegiatan lanjutan.
d) Tetap terbinanya suasana kebersamaan dalam kelompok.
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan pada tahap ini, yaitu:
a) Pemimpin kelompok mengungkapkan bahwa kegiatan akan segera berakhir.
b) Pemimpin dan anggota kelompok mengungkapkan kesan dan hasil kegiatan.
c) Membahas kegiatan lanjutan.
d) Mengemukakan pesan dan harapan.



















BAB V
PENUTUP



A. Simpulan
Dari hasil pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan model pelatihan pengelolaan diri dalam belajar pada siswa underachiever melalui pendampingan orang tua dapat dilakukan dengan dua tahap yaitu:
1. Tahap pemberian informasi secara klasikal mengenai underachievement dan pengelolaan diri dalam belajar. Pada kegiatan ini orang tua diberi informasi mengenai fenomena underachievement dan pentingnya pengelolaan diri dalam belajar melalui metode ceramah dengan nara sumber konselor, psikolog ,dan tokoh pendidikan. Pada tahap ini diharapkan orang tua dapat menjadi fasilitator yang dapat dimintai tolong anaknya untuk mengembangkan pengelolaan diri dalam belajar.
2. Diskusi kelompok untuk membahas mengenai underachievement dan pengelolaan diri dalam belajar. Dalam tahap ini pihak yang dilibatkan tidak hanya konselor, psikolog, tokoh pendidikan maupun orang tua yang memiliki anak underachiever, tetapi juga dapat mengundang nara sumber lain yaitu orang tua yang telah berhasil mengarahkan anaknya yang mengalami underachiever untuk mengelola diri dalam belajar. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan diskusi kelompok ini, yaitu: a. unsur-unsur diskusi kelompok: pemimpin kelompok, anggota kelompok dan dinamika kelompok; b. tujuan diskusi kelompok berupa pemahaman kepada orang tua mengenai underachiever dan pengelolaan diri dalam belajar serta mengupayakan bantuan terbaik sesuai keadaan dan kebutuhan anak underachiever; c. pembentukan kelompok, meliputi: memilih anggota kelompok, jumlah anggota kelompok, frekuensi pertemuan, jangka waktu, tempat pelaksanaan; d. Tahapan dalam diskusi kelompok antara lain: tahap pembentukan, tahap peralihan, tahap kegiatan dan tahap pengakhiran.

B. Saran
1. Bagi pihak orang tua hendaknya lebih memperhatikan perkembangan pendidikan anak dan menjadi pihak yang dapat dimintai bantuan anak ketika mengalami kesulitan belajar.
2. Bagi pihak sekolah hendaknya dapat menerapkan pelatihan pengelolaan diri dalam belajar pada siswa underachiever melalui pendampingan orang tua sehingga dapat meminimalisir jumlah siswa underachiever.
3. Bagi konselor, psikolog dan tokoh pendidikan, dapat berperan aktif dalam penerapan pelatihan pengelolaan diri dalam belajar pada siswa underachiever melalui pendampingan orang tua
oleh. Tol'ah Aeni Firdiasih, Yanuarini, Heru S

Tidak ada komentar: